Orang-orang bilang, “Life begins at the end of your comfort zone.” Setelah lebih dari 9 bulan menjadi siswi pertukaran pelajar di negeri Paman Sam, saya setuju dengan ungkapan di atas. Keluar dari zona nyaman untuk tinggal di lingkungan baru, hidup bersama keluarga Amerika, belajar di sekolah yang sistemnya jelas berbeda, berinteraksi dengan orang-orang baru dengan watak yang bervariasi, tentu saja tidak mudah. Namun, setiap detik yang saya lalui di sini selalu penuh dengan pelajaran hidup yang berharga dan selalu membuat saya terus bersyukur.
Nama saya Ayunda Nisa Chaira. Umur saya 17 tahun. Saya “cuti” belajar dari SMA Negeri 39 tahun ajaran 2014-2015 untuk belajar di Amerika Serikat lewat program pertukaran pelajar KL-Youth Exchange Study yang dibiayai penuh oleh Departemen Luar Negeri AS. Selain belajar, saya juga mengemban tugas untuk menjembatani pemahaman antara Indonesia-Amerika Serikat. Saya tinggal di Wisconsin, sebuah state yang terletak di utara-tengah Amerika Serikat, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Menasha yang penduduknya tidak lebih dari 50 ribu orang. Kota ini letaknya tepat di pesisir utara danau terbesar di negara bagian ini, Lake Winnebago. Menasha juga dilalui Fox River dan Little Lake Butte des Morts di bagian barat. Meski julukan “Land of 1000 Lakes” disandang oleh state tetangga kami Minnesota, ternyata di Wisconsin sendiri ada lebih dari 15.000 danau.
Wisconsin dikenal sebagai “American’s Dairyland”, karena state ini mendominasi produksi susu, mentega, dan keju di Amerika. Selain itu, Wisconin juga dikenal dengan area hutan yang luas di bagian utaranya, yang biasa disebut North Woods. Tipikal penduduk Wisconsin senang berburu, memancing, dan menghabiskan waktu liburan di cabin di utara, termasuk host family saya. Pandangan saya sebelum datang ke Amerika tentang big cities, tall buildings, busy people, crowded life, pun terpatahkan!
Sejak hari pertama hingga detik ini, ketika saya ditanya tentang Wisconsin, jawaban yang keluar dari mulut saya adalah ‘dingin’. Saya datang pada akhir musim panas ketika suhunya masih sekitar 25°C. Kemudian suhu perlahan lahan turun seiring musim berganti dari musim panas, musim gugur, hingga musim dingin. Kami mengenal 2 jenis suhu: suhu udara ‘sebenarnya’ dan windchill atau suhu yang ‘terasa’ akibat angin. Angin yang menyapu dari Lake Winnebago selalu membuat suhu terasa lebih dingin. Wisconsin dikenal dengan musim dinginnya yang panjang dengan suhu yang selalu jauh di bawah 0°C. Tahun ini, salju pertama turun sekitar pertengahan bulan November, satu bulan lebih awal dari ‘waktu resmi’. Semua orang mengeluh dan memprediksi kalau musim dingin tahun ini akan berlangsung lama. Sementara saya yang belum pernah merasakan salju sekali pun, begitu bahagia menyambut datangnya salju pertama saya. Masih jelas di ingatan saya, pagi itu setelah shalat shubuh, salju yang putih turun lewat jendela, menyelimuti teras kayu di halaman belakang rumah saya.
Jika suhu ideal untuk kulkas adalah sekitar 3°C dan -20°C untuk freezer, saya sudah biasa dengan range suhu tersebut. Bahkan saya sudah merasakan suhu yang jauh lebih dingin daripada -20°C. Rekor suhu terdingin yang pernah saya rasa di sini mencapai -39°C windchill. Pagi itu, saya berjalan kaki ke sekolah, sama seperti hari-hari lainnya. 2 lapis baju, jaket, winter coat yang tebal, boots, sarung tangan tebal, dan syal selalu membungkus saya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Awalnya, rasanya berat untuk melangkahkan kaki keluar rumah ke sekolah. Belum lagi, setiap saya berjalan, mata saya yang pasti berair pasti langsung membeku. Begitu pula wajah saya. Saya selalu mencoba untuk menikmati perjalanan saya ke sekolah. Seiring berjalannya waktu, saya pun terbiasa dengan suhu dingin dan rutinitas ini: berjalan kaki ke sekolah ditemani oleh butir-butir salju yang menari nari. Ketika suhu akhirnya merangkak naik menuju ke 0°C, dengan bangganya, saya bisa keluar rumah tanpa jaket!
American high school adalah favorit saya selanjutnya! Saya senang sekali bertemu teman-teman baru di Menasha High School, karena setiap saya memperkenalkan diri, saya pasti menyebutkan dan menjelaskan sedikit tentang ‘Indonesia’. Artinya, ada satu orang lagi di dunia ini yang mengenal Indonesia lebih jauh! Sistem sekolah di sini adalah moving class. Setiap siswa harus bermobilisasi ke kelas selanjutnya ketika bel yang menandakan akhir jam pelajaran berbunyi. Kelas saya ada 6: English, German, Civics (pendidikan kewarganegaraan Amerika Serikat), App/Flash Development, dan dua kelas universitas untuk kalkulus dan fisika. Dua kelas ini sudah saya selesaikan sekitar satu bulan yang lalu setelah mengikuti semacam ujian nasional untuk mendapat credit di universitas. Menjadi siswa di Amerika membuat saya belajar untuk lebih proaktif dalam proses pembelajaran.
9 bulan menjadi exchange student juga membuka mata saya untuk lebih peduli kepada lingkungan sekitar. Saya menjadi volunteer atau sukarelawan di beberapa aktivitas di kota saya, mulai dari membantu menyediakan makanan untuk beberapa festival, menyediakan makan siang untuk untuk tuna wisma, sampai membantu anak-anak sekolah dasar mengerjakan PR dan belajar membaca setiap minggu. Sebuah kebahagiaan tersendiri pula untuk saya ketika mendapat kesempatan untuk mempresentasikan Indonesia ke beberapa komunitas dan sekolah di sini. Saya selalu mendapat berbagai macam pertanyaan mengenai Islam maupun Indonesia, mulai dari “Kalian pakai handphone gak?” sampai “Jadi kamu tinggal berenang kalau mau ke pulau lain?”
Seminggu yang lalu, senang sekali rasanya ketika kedutaan Amerika Serikat di Indonesia dan @america memberikan saya kesempatan untuk bercerita tentang pengalaman saya selama menjadi exchange student lewat konferensi langsung antara Indonesia-Amerika Serikat. Saya jadi sadar betapa cepat waktu berlalu. Rasanya, baru kemarin saya menginjakkan kaki di Menasha, mengobservasi setiap hal yang saya lihat dengan kagum. Ternyata hanya satu bulan yang tersisa bagi saya untuk mengeksplorasi Amerika, sebelum kembali lagi ke tanah air, kembali lagi ke SMA 39 dan menyandang predikat sebagai siswa kelas 12. Setiap saya mengingat perjuangan, suka, dan duka baik selama mengikuti seleksi dan selama saya di sini, saya selalu tersenyum dan bertanya pada diri saya sendiri, “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” (QS. 55:14)
Alhamdulillahirabbil’alamin… 🙂
19 Mei 2015
Ayunda Nisa Chaira
Ayunda Nisa
Latest posts by Ayunda Nisa (see all)
- Catatan 9 Bulan di Amerika - 19 May 2015
pengalaman pertukaran pelajar selama setahun itu memang berharga banget ya dan bisa terus dikenang. selain belajar juga menambah banyak teman di luar negeri. anyway, kalau mau AFS itu apakah kita bisa pilih kota tujuan atau sudah ditentukan oleh panitia ya?
Salam Yunda,It’s really a wonderful story!
I wish more students are going to have the same experience as you